BANDA ACEH – PT Pembangunan Aceh (PEMA) menargetkan investasi sebesar Rp56 miliar pada 2025, meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Fokus investasi ini akan diarahkan pada sektor non-migas, seperti pangan, perikanan, properti dan energi terbarukan.
Direktur Komersial PT PEMA, Almer Hafis Sandy, mengatakan pihaknya terus mendorong investasi melalui kemitraan dan diversifikasi usaha.
“Kami terus berupaya mendorong investasi melalui kemitraan dan diversifikasi usaha. Tahun 2025, PEMA menargetkan investasi sebesar Rp56 miliar atau meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya,” ungkap Almer dalam diskusi bertajuk ‘Realisasi Investasi Aceh Tahun 2024 dan Peluang Investasi Tahun Mendatang’ yang digelar Jurnalis Ekonomi Aceh (JEA) di Banda Aceh, Senin (16/12/2024).
Menurutnya, kendala teknis investasi di Aceh relatif kecil, hanya sekitar 5–10 persen. Namun, tantangan non-teknis, seperti minimnya aktivitas ekonomi berkelanjutan dan terbatasnya kolaborasi antarpemangku kepentingan, masih menjadi hambatan utama.
Almer menambahkan bahwa sektor migas masih mendominasi, tetapi PEMA mulai merambah ke sektor non-migas. Salah satu proyek konkret adalah pengembangan panas bumi di Seulawah yang dikelola bersama PT Pertamina Geothermal Energy serta rencana reaktivasi pabrik Kertas Kraft Aceh.
“Diversifikasi usaha di sektor pengolahan pangan, perdagangan komoditas kopi dan ikan, serta hilirisasi sawit juga menjadi fokus investasi pada 2025,” jelas Almer.
Lebih lanjut, Almer menyoroti rencana jangka panjang carbon capture storage di Arun. Proyek ini diproyeksikan mendukung komitmen net zero emission Indonesia dan menjadi sumber pendapatan baru bagi Aceh.
Statistisi Ahli Muda BPS Aceh, Hilda Aprina, menambahkan bahwa sektor pertambangan memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi Aceh, yakni sebesar 7,1 persen pada triwulan III 2024. Namun, dia mengingatkan cadangan pertambangan yang bersifat tidak terbarukan harus dioptimalkan untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.
“Pendapatan dari sektor pertambangan sebaiknya dimanfaatkan untuk mengembangkan sektor lain. Aceh dapat belajar dari Arab Saudi yang sukses menggunakan pendapatan sumber daya alam untuk memajukan industri, pariwisata, dan teknologi,” ujarnya.
Hilda menegaskan bahwa optimalisasi sektor ekonomi membutuhkan dukungan investasi, pengembangan sumber daya manusia (SDM), perbaikan infrastruktur dan integrasi antarsektor.
“Dengan langkah ini, Aceh bisa memaksimalkan potensinya untuk kesejahteraan masyarakat,” tambahnya.
Plh Kepala DPMPTSP Aceh, Feriyana, menegaskan pentingnya perbaikan iklim investasi di Aceh melalui penyederhanaan perizinan dan peningkatan layanan bagi calon investor.
“DPMPTSP berkomitmen menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan mendukung pertumbuhan ekonomi Aceh melalui peningkatan pelayanan terpadu,” kata Feriyana.
Dalam kesempatan yang sama, Prof Mukhlis Yunus menyoroti tantangan investasi, seperti kompleksitas regulasi, infrastruktur yang belum merata, serta minimnya promosi investasi yang strategis.
“Aceh memiliki potensi besar di sektor pertanian, energi terbarukan dan pariwisata halal. Namun, kebijakan yang fleksibel dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia sangat diperlukan untuk menarik investor,” ujar Prof Mukhlis.
Dia juga mendorong pengembangan investasi berbasis lingkungan dan syariah serta pemanfaatan sumber daya alam yang belum tergarap secara optimal.
Sementara itu, perwakilan Bank Indonesia Aceh, yang diwakili Plt Kepala Unit Kehumasan Fina Ananda, menekankan pentingnya stabilitas ekonomi dan dukungan kebijakan moneter untuk menarik investasi di Aceh. []