Rabu, Agustus 6, 2025

Mualem Mengalami Sendiri: Barcode BBM dan Ketidakadilan di SPBU

SINGKIL – Kebijakan penggunaan barcode untuk pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM) kembali menjadi perbincangan hangat di Aceh. Isu ini ramai dibahas di warung kopi hingga media sosial, menandai kali kedua topik ini mencuat di Bumi Serambi Mekah.

Sebelumnya pada 2022, saat wacana pemberlakuan barcode pertama kali muncul, Aceh, Bintan dan Batam ditetapkan sebagai daerah percontohan (pilot project). Kini, tiga tahun setelah implementasi kebijakan tersebut, barcode BBM kembali menjadi sorotan publik di Aceh.

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, dalam sambutannya usai dilantik pada Rabu (12/2) lalu, menegaskan pencabutan penggunaan barcode BBM di seluruh Aceh. Dalam setiap sambutannya pada pelantikan bupati dan wali kota, pria yang akrab disapa Mualem itu konsisten menyampaikan hal tersebut.

“Barcode itu membuat petugas SPBU menjadi kaku, tanpa pertimbangan dan rasa simpati,” ujar Mualem di ruang VIP Dewan Perwakilan Rakyat Kota Subulussalam, usai melantik Wali Kota setempat.

Mualem menuturkan pengalamannya menyaksikan langsung dampak kebijakan ini. “Dalam beberapa kejadian yang kebetulan saya saksikan sendiri, sungguh miris. Saya melihat dua warga mendorong mobil pikap yang kehabisan BBM ke SPBU, tetapi petugas menolak mengisi BBM karena mereka tidak memiliki barcode,” katanya.

Dia menilai sistem ini terlalu kaku dan menghilangkan empati. “Seharusnya petugas SPBU bisa mengisi BBM Rp100 ribu atau Rp200 ribu agar pemilik kendaraan bisa pulang tanpa harus mendorong mobil. Namun, karena sistem yang diterapkan, petugas SPBU bertindak seolah-olah robot, tanpa belas kasihan, tanpa simpati,” lanjutnya.

Mualem juga mengungkapkan bahwa dirinya pernah mengalami kejadian serupa. “Mobil saya menggunakan Pertamax dan kehabisan BBM. Saat saya ke SPBU, Pertamax kosong, begitu juga dengan Pertamax Turbo. Saya meminta diisikan Pertalite secukupnya agar bisa pulang, tetapi petugas SPBU menolak karena saya tidak memiliki barcode. Aturannya terlalu kaku,” ungkapnya.

Gubernur juga menyoroti beberapa kasus serupa di daerah lain di luar Aceh, di mana terjadi konflik antara petugas SPBU dan konsumen yang tidak bisa dilayani karena tidak memiliki barcode BBM.

“Jadi, penghapusan barcode adalah salah satu solusi untuk menghilangkan konflik di SPBU serta memberikan kenyamanan bagi masyarakat, baik konsumen maupun petugas SPBU,” pungkasnya. []

Berita Populer

Berita Terkait