BANDA ACEH – Kepala Balai Pelestarian dan Kebudayaan (BPK) Aceh, Piet Rusdi, menegaskan pentingnya mengubah cara pandang terhadap kebudayaan di Aceh. Menurutnya, kebudayaan tidak hanya berfungsi sebagai objek pelestarian, tetapi juga sebagai fondasi pembangunan ekonomi berkelanjutan.
“Kebudayaan kita memiliki potensi besar yang tersembunyi. Jika dikelola dengan baik, kebudayaan bisa menjadi investasi ekonomi yang signifikan bagi Aceh,” ujar Piet Rusdi dalam acara dialog ke-Acehan di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin (4/11/2024).
Piet menekankan bahwa kekayaan kebudayaan Aceh, yang meliputi seni, tradisi, dan kearifan lokal, masih belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pembangunan ekonomi. Selain itu, tambah dia, kebudayaan Aceh bukan sekadar warisan leluhur tetapi juga menyimpan elemen ekonomi yang dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat, terutama generasi muda.
Menurutnya, pengelolaan kebudayaan dengan perspektif ekonomi dapat menciptakan peluang kerja yang berkelanjutan di bidang-bidang kreatif, termasuk kerajinan tangan, seni pertunjukan, dan kuliner lokal.
Pada kesempatan tersebut, Piet mengajak semua pihak untuk bersama-sama mengubah paradigma kebudayaan sebagai aset ekonomi. “Anak muda Aceh perlu diberi ruang dan platform untuk berkreasi, agar mereka tidak hanya berorientasi pada pekerjaan formal seperti PNS,” katanya.
Dia berharap bahwa keterampilan seperti pembuatan rencong atau alat musik tradisional rapai dapat dimanfaatkan sebagai peluang usaha mandiri. Salah satu langkah konkret yang diusulkan BPK Aceh adalah pembentukan skema dana abadi kebudayaan.
Piet menyebut, dana ini membutuhkan fondasi regulasi yang kuat agar dapat dikelola dengan baik dan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat. “Kita perlu fondasi regulasi yang kuat agar dana abadi kebudayaan dapat terkelola dengan baik dan bermanfaat bagi masyarakat pendukungnya,” jelas Piet.
Selain itu, Piet mengapresiasi kolaborasi dengan UIN Ar-Raniry dalam upaya pengembangan kebudayaan berbasis akademik. Menurutnya, universitas memiliki peran strategis dalam memperkuat diskusi dan pemikiran intelektual yang dapat mengokohkan fondasi kebudayaan di Aceh.
“Cagar budaya bukan hanya milik pemerintah, tapi juga milik masyarakat. Proses penetapan cagar budaya harus melibatkan berbagai pihak agar tercipta kesadaran kolektif dalam melestarikan dan mengembangkannya,” ujar Piet.
Dia berharap agar kebudayaan Aceh dapat menjadi daya tarik utama di berbagai sektor seperti pertanian, kehutanan, pendidikan, dan pariwisata. Dengan pengelolaan yang baik, kebudayaan Aceh dapat menyatu dengan sektor-sektor ini, menjadi kekuatan ekonomi baru yang membawa dampak positif bagi daerah.
“Kebudayaan Aceh adalah warisan berharga yang jika dikelola dengan benar, dapat menjadi sumber daya ekonomi bernilai tinggi bagi daerah kita,” tutup Piet. []