Selasa, Agustus 5, 2025

Aceh Siapkan Strategi Unggulan untuk Dorong 17 Subsektor Ekonomi Kreatif

BANDA ACEH – Pemerintah Aceh terus menunjukkan keseriusan dalam mengembangkan sektor ekonomi kreatif. Melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, berbagai aspirasi diserap untuk mengembangkan sektor ini, sesuai arahan Menteri Ekonomi Kreatif (Menekraf) RI, Teuku Riefky Harsya.

Kadisbudpar Aceh, Almuniza Kamal, menjelaskan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini telah memisahkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi dua entitas berbeda, yakni Kementerian Pariwisata dan Kementerian Ekonomi Kreatif. Pemisahan tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 199 Tahun 2024 tentang Kementerian Ekonomi Kreatif dan Peraturan Presiden Nomor 200 Tahun 2024 tentang Badan Ekonomi Kreatif.

Menekraf Teuku Riefky, saat berkunjung ke Aceh pada Jumat, 16 November 2024, mendorong kepala daerah untuk membentuk dinas ekonomi kreatif sebagai upaya optimalisasi potensi ekonomi kreatif.

Menindaklanjuti arahan tersebut, Disbudpar Aceh menggelar diskusi dengan berbagai pihak dari beragam latar belakang pada Senin, 25 November 2024, di Ruang Rapat Disbudpar Aceh. Diskusi tersebut dipimpin oleh Kepala Bidang Pengembangan Usaha Pariwisata dan Kelembagaan, Ismail, yang mewakili Kadisbudpar Aceh, Almuniza Kamal.

“Tujuan rapat ini adalah menghimpun pendapat pelaku ekonomi kreatif, praktisi, akademisi, dan pengambil kebijakan terkait rencana pembentukan Komite Ekraf Aceh. Langkah ini diharapkan menghasilkan strategi yang tepat untuk mengembangkan sektor ekonomi kreatif, baik dalam aspek regulasi maupun kelembagaan,” ujar Almuniza, Sabtu (30/11/2024).

Ia menjelaskan sektor ekonomi kreatif mencakup 17 subsektor, dengan subsektor unggulan seperti kuliner, fesyen, dan kriya. Selain itu, aplikasi, musik, permainan, film, animasi, dan video menjadi subsektor prioritas yang juga perlu didorong.

“Kolaborasi pentahelix sangat diperlukan untuk memajukan ekonomi kreatif. Dukungan pemerintah, terutama dalam memprioritaskan penggunaan produk lokal, menjadi modal utama pengembangan sektor ini,” tegasnya.

Almuniza juga menyampaikan bahwa tim kecil akan dibentuk untuk menelaah hasil diskusi hingga menghasilkan rekomendasi kepada Gubernur Aceh. “Kita berharap ekonomi kreatif dapat menjadi solusi dalam mengatasi pengangguran dan kemiskinan di Aceh,” tambahnya.

Dalam diskusi tersebut, Pengamat Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Iskandarsyah Madjid, menyebutkan pentingnya pembentukan lembaga khusus yang menangani ekonomi kreatif. Lembaga ini dinilai mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor ekonomi kreatif, terutama dengan semakin menurunnya dana otonomi khusus (otsus).

“Banyaknya komunitas ekonomi kreatif di Aceh menunjukkan kebutuhan mereka untuk difasilitasi dengan baik. Gedung Amanah (Kreatif Hub) dengan fasilitasnya yang memadai dapat menjadi ruang kreatif bagi anak muda Aceh,” kata Iskandar.

Akademisi Hamdani menambahkan pentingnya penyusunan Rencana Induk Pengembangan Ekonomi Kreatif (Rindekraf) Aceh. “Dinas khusus atau komite ekonomi kreatif diperlukan agar lebih mudah berkoordinasi dengan kementerian terkait. Selain itu, perlu adanya qanun sebagai landasan hukum pengembangan sektor ekonomi kreatif,” jelasnya.

Sementara itu, Khairul dari Indonesia Fashion Chamber (IFC) menyarankan agar Aceh mencontoh event seperti Lombok Fashion Festival untuk mengembangkan sektor fesyen. Ia juga menggarisbawahi kendala yang dihadapi desainer busana di Aceh dalam menyelenggarakan acara yang sesuai dengan syariat Islam.

“Beasiswa untuk pelaku ekonomi kreatif, terutama di bidang fesyen, sangat diperlukan. Meski kebanyakan pelaku belajar secara otodidak, pendidikan formal tetap diperlukan untuk pengembangan keterampilan,” katanya.

Khairul juga menekankan pentingnya keberadaan kurator ahli dalam pelaksanaan event ekonomi kreatif dan pengambilan kebijakan di sektor ini. “Pemerintah harus mengintervensi pengadaan barang dan jasa serta mengevaluasi penggunaan produk lokal,” pungkasnya. []

Berita Populer

Berita Terkait